Jumlah Pekerja Industri Ditargetkan 16,3 Juta Tahun 2017

Tenaga kerja merupakan modal penting sebagai penggerak roda pembangunan nasional. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten di bidangnya sehingga mampu berdaya saing dalam menghadapi pasar bebas saat ini.

“Khusus di sektor industri, kami tengah menyiapkan tenaga kerja yang terampil sesuai kebutuhan dunia usaha melalui pelatihan dan pendidikan vokasi. Hal ini sesuai instruksi Bapak Presiden Joko Widodo, termasuk mendorong industrialisasi,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada acara HUT ke-44 Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Hari Pekerja Indonesia di Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (19/2).

Menurut Airlangga, sektor industri merupakan salah satu motor pertumbuhan ekonomi nasional karena berperan penting dalam menciptakan nilai tambah, perolehan devisa dan penyerapan tenaga kerja. Upaya inibertujuan pula pada peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“Sasaran utama pembangunan industri nasional pada tahun 2017, antara lain pertumbuhan industri pengolahan non-migas sebesar 5,5 persen dan peningkatan jumlah tenaga kerja sektor industri menjadi 16,3 juta orang,” tegasnya.

Merujuk data Badan Pusat Statistik, jumlah tenaga kerja berdasarkan lapangan pekerjaan utama pada tahun 2016 mencapai 120.647.697 orang, di mana yang bekerja di sektor industri sebanyak 15.975.086 orang dengan kontribusi terbesar dari Provinsi Jawa Barat sekitar 3.892.044 orang (24,93%), Jawa Tengah 3.219.793 orang (20,16%), dan Jawa Timur 2.948.203 orang (18,46%).

Oleh karena itu, langkah awal yang dilaksanakan oleh Kemenperin tahun ini adalah menerapkan link and match antara SMK dengan industri di Jawa Timur, yang diperkirakan dapat menghasilkan sebanyak 75.000 tenaga kerja terampil per tahun. Selanjutnya akan dilaksanakan di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga ditargetkan mampu menghasilkan sebanyak 175.000 tenaga kerja terampil per tahun yang mempunyai kompetensi sesuai dengan persyaratan yang diminta industri.

“Dengan persaingan yang semakin ketat saat ini, kami berharap agar para pelaku industri dapat selalu meningkatkan kompetensi tenaga kerjanya dalam rangka peningkatan daya saing, khususnya melalui program pendidikan dan pelatihan vokasi industri,” jelas Plt. Sekjen Kemenperin Haris Munandar. (https://www.echelon.health)

Langkah strategis tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan Berbasis Kompetensi yang Link and Match dengan Industri. Regulasi yang ditandatangani oleh Menperin Airlangga ini berlaku sejak tanggal 27 Januari 2017.

“Untuk SMK dan pendidikan tinggi vokasi di lingkungan Kementerian Perindustrian, telah diarahkan kepada pola pembelajaran berbasis spesialiasi dan kompetensi yang dilengkapi dengan teaching factory,” papar Haris. Kemenperin juga melaksanakan program 3in1, yakni pelatihan, sertifikasi, dan penempatan yang bekerja sama dengan perusahaan dan asosiasi industri.

“Kami melihat, kebutuhan tenaga kerja industri kompeten saat ini sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya animo dunia industri terhadap lulusan dari lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Kemenperin,” ungkap Haris.

 

Usulan insentif

Sementara itu, Menperin juga menyampaikan, pemerintah tengah menyiapkan insentif kepada industri yang terlibat dalam pengembangan pendidikan vokasional. “Salah satu fasilitas yang diusulkan, misalnya tax allowance. Usulan ini sedang kami bahas dengan Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Tax allowance adalah salah satu insentif berupa pemotongan pajak yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk kepentingan tertentu. Dengan adanya insentif itu, diharapkan semakin banyak perusahaan dan tenaga kerja yang ikut serta dan menjamin keberlanjutan dalam program yang memiliki konsep link and match tersebut.

Airlangga menjelaskan, pihaknya telah menerapkan program vokasional yang sesuai dengan kebutuhan industri melalui SMK dan pendidikan tinggi di lingkungan Kemenperin. Program ini akan diperluas lewat kerja sama dengan perusahaan dan asosiasi industri di beberapa provinsi.

Untuk tahap pertama, direncanakan peluncuran program link and match antara SMK dengan industri tersebut akan dilakukan di Jawa Timur pada 28 Februari 2017, yang melibatkan sebanyak 50 perusahaan dan 261 SMK. “Dengan asumsi, setiap SMK akan melibatkan 200 siswa, maka jumlah siswa yang siap diserap oleh sektor industri sebanyak 52.200 siswa,” ungkap Menperin.

Di samping itu, lanjut Airlangga, jumlah tersebut juga ditambah melalui program Diklat 3 in 1 (pelatihansertifikasi kompetensi, dan penempatan kerja) yang diinisiasi oleh Kemenperin dengan melibatkan sebanyak 4.500 peserta di wilayah Jawa Timur.

Secara kumulatif, diprediksi akan tercipta sebanyak 600.000 calon tenaga kerja yang dapat memenuhi kebutuhan industri pada tahun 2019. “Langkah ini merupakan bagian dari program nasional yang diharapkan secara masif dapat merevitalisasi kondisi SMK yang ada saat ini,” tegasnya. Pemerintah juga menargetkan jumlah tenaga kerja dalam program ini bisa mencapai satu juta orang pada tahun 2019.

Bagi para peserta yang mengikuti program ini, akan memperoleh sertifikat yang mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau standar internasional. “Karena di Austria, Swiss, dan Jerman, sebagai negara yang industrinya cukup maju, mereka menerapkan waktu belajar di SMK selama empat tahun dan usia 16 tahun sudah magang. Bahkan, Kadin dan industri di sana yang menyiapkan kurikulumnya,” ujar Airlangga.

Airlangga menggambarkan, perusahaan yang mengikuti program ini bisa diuntungkan karena punya pasokan tenaga kerja yang kontinyu. Sedangkan, peserta pemagangan memperoleh keuntungan berupa upah dan biaya transportasi. Tidak hanya itu, diproyeksikan pada tahun keempat, siswa pemagangan sudah bisa memberikan return ke perusahaan dalam proses produksi.

Menurut Airlangga, program tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi era industri 4.0. “Kami harapkan program ini akan memperbaiki keterampilan tenaga kerja di Indonesia sehingga mereka punya daya saing lebih. Kami juga menginginkan mereka diperkenalkan dengan industri 4.0 sehingga ke depannya pekerja kita tidak gagap teknologi,” paparnya.

Tinggalkan Balasan